BELUM WAKTUNYA BAYARAN MAHAL

Selasa, 18 Agustus 2009
koncomacan - GELAR juara dan dana melimpah. Hal tersebut seperti dua sisi mata uang tak terpisahkan dalam kancah sepak bola, termasuk juga di Indonesia.
Beberapa tahun terakhir, gelar juara selalu jatuh ke pelukan tim-tim berkantong tebal. Memang, hal tersebut sah-sah saja.
Misalnya, yang terjadi dalam sepak bola Eropa, tim-tim dengan gelontoran bujet melimpah berkesempatan luas memilih pemain yang diinginkan. Selain itu, gaji besar dan fasilitas wah diakui bisa menjadi salah satu motivasi pesepak bola mengembangkan kemampuan.
Tapi, jika melihat level sepak bola Indonesia saat ini, banyak pihak memandang gaji pemain di negeri ini terbilang arogan, melebihi Rp 1 miliar. Pemain mahal di Indonesia dirasa belum bisa memberi kontribusi maksimal kepada timnya jika dibanding bintang di Eropa.
Konstribusi pemain sepak bola modern bukan sebatas permainan di lapangan, tapi juga harus bisa membantu pemasukan tim. Di antaranya, mendongkrak penjualan merchandise atau menambah jumlah fans.
Sayang, rata-rata klub Indonesia juga belum profesional sepenuhnya. Belum memaksimalkan segala potensinya untuk mandiri, termasuk menggarap merchandise dengan serius dan menjadi pemasukan signifikan. Pertanyaannya, pantaskah tim yang belum profesional jorjoran menggaji pemain?
Tak salah jika PSSI berencana menerbitkan manual liga yang mengatur gaji pemain agar lebih tertib. ''Setuju, rasionalisasi gaji memang penting dilakukan di Indonesia. Apalagi, feedback pemain kepada tim juga belum maksimal,'' ujar Presiden Komisaris PT Arema Indonesia Satrija Budi Wibawa.
Rasionalisasi itu sebenarnya telah dilakukan Arema. ''Kami sudah menerapkannya pada pemain asing Arema musim lalu,'' tuturnya.
Menurut dia, pemain asing Singo Edan musim lalu digaji berdasar jumlah bertanding dan memperhitungkan kontribusinya. Tentunya, klausul gaji seperti itu juga telah dijelaskan dalam draf kontrak pemain.
Gaji pemain selama ini memang menjadi pos pengeluaran terbesar bagi sebuah tim di Indonesia. Jika benar-benar dilakukan, rasionalisasi gaji pemain akan membantu tim berevolusi ke arah profesional.
Seandainya pembatasan gaji pemain berjalan maksimal, Satrija menambahkan bahwa bahan bakar tim dalam satu musim tidak akan menembus angka lebih dari Rp 20 miliar. Dengan demikian, tentu beban tim akan lebih ringan.
koncomacan - GELAR juara dan dana melimpah. Hal tersebut seperti dua sisi mata uang tak terpisahkan dalam kancah sepak bola, termasuk juga di Indonesia.
Beberapa tahun terakhir, gelar juara selalu jatuh ke pelukan tim-tim berkantong tebal. Memang, hal tersebut sah-sah saja.
Misalnya, yang terjadi dalam sepak bola Eropa, tim-tim dengan gelontoran bujet melimpah berkesempatan luas memilih pemain yang diinginkan. Selain itu, gaji besar dan fasilitas wah diakui bisa menjadi salah satu motivasi pesepak bola mengembangkan kemampuan.
Tapi, jika melihat level sepak bola Indonesia saat ini, banyak pihak memandang gaji pemain di negeri ini terbilang arogan, melebihi Rp 1 miliar. Pemain mahal di Indonesia dirasa belum bisa memberi kontribusi maksimal kepada timnya jika dibanding bintang di Eropa.
Konstribusi pemain sepak bola modern bukan sebatas permainan di lapangan, tapi juga harus bisa membantu pemasukan tim. Di antaranya, mendongkrak penjualan merchandise atau menambah jumlah fans.
Sayang, rata-rata klub Indonesia juga belum profesional sepenuhnya. Belum memaksimalkan segala potensinya untuk mandiri, termasuk menggarap merchandise dengan serius dan menjadi pemasukan signifikan. Pertanyaannya, pantaskah tim yang belum profesional jorjoran menggaji pemain?
Tak salah jika PSSI berencana menerbitkan manual liga yang mengatur gaji pemain agar lebih tertib. ''Setuju, rasionalisasi gaji memang penting dilakukan di Indonesia. Apalagi, feedback pemain kepada tim juga belum maksimal,'' ujar Presiden Komisaris PT Arema Indonesia Satrija Budi Wibawa.
Rasionalisasi itu sebenarnya telah dilakukan Arema. ''Kami sudah menerapkannya pada pemain asing Arema musim lalu,'' tuturnya.
Menurut dia, pemain asing Singo Edan musim lalu digaji berdasar jumlah bertanding dan memperhitungkan kontribusinya. Tentunya, klausul gaji seperti itu juga telah dijelaskan dalam draf kontrak pemain.
Gaji pemain selama ini memang menjadi pos pengeluaran terbesar bagi sebuah tim di Indonesia. Jika benar-benar dilakukan, rasionalisasi gaji pemain akan membantu tim berevolusi ke arah profesional.
Seandainya pembatasan gaji pemain berjalan maksimal, Satrija menambahkan bahwa bahan bakar tim dalam satu musim tidak akan menembus angka lebih dari Rp 20 miliar. Dengan demikian, tentu beban tim akan lebih ringan.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda