ADA UANG DISAYANG TAK ADA UANG KLUB DITINGGAL

koncomacan - MUSIM ini, Real Madrid gila-gilaan dalam belanja pemain. Tim asal ibu kota Spanyol tersebut telah menghabiskan lebih dari Rp 3 triliun hanya untuk belanja pemain.
Untuk membeli Cristiano Ronaldo dari Manchester United, raksasa Spanyol itu harus merogoh kocek 94 juta euro atau sekitar Rp 1,3 triliun. Padahal, sebelumnya, El Real menggaet Kaka dari AC Milan dengan banderol 65 juta euro atau sekitar Rp 813 miliar.
Itu masih kurang. Di belakang Kaka masih ada nama Karim Benzema yang direkrut dari Olympique Lyon dengan harga 35 juta euro atau sekitar Rp 490 miliar. Harga tersebut fantastis di sepak bola internasional.
Kita bisa membayangkan bahwa harga seorang Ronaldo dapat dimanfaatkan untuk memutar kompetisi Indonesia Super League (ISL) selama dua musim. Dengan asumsi, ISL diikuti 18 klub dan anggaran tiap klub Rp 20 miliar.
Tapi, kalau kita berpikir realistis dengan sepak bola Indonesia sekarang, mencari Rp 20 miliar saja masih menjadi bayangan banyak klub. Jangankan segitu, separonya saja sulit minta ampun.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang selama ini menjadi penyambung napas klub di Indonesia semakin hati-hati dikucurkan. Apalagi, setiap tahun, anggaran mereka untuk ikut kompetisi selalu meningkat.
Salah satu penyebab utamanya adalah gaji dan kontrak pemain yang selalu meningkat. Di era Galatama, pemain hanya digaji di bawah Rp 1 juta. Untuk nilai di atas itu pun, hanya ada beberapa pemain di klub tertentu.
Saat memasuki era Liga Indonesia, kontrak pemain belum terlalu melambung meski sudah hadir pesepak bola asing. Tapi, dengan alasan prestasi, klub mulai gemar mengoleksi pemain bintang dengan tujuan juara. Risikonya, gaji dan kontrak pemain melambung.
PSPS Pekanbaru, PSM Makassar, Persebaya Surabaya, dan Persija Jakarta pernah melakukannya. Memang, hasilnya kadang belum sesuai dengan harapan. Tapi telanjur, kontrak pemain naik dan klub gengsi menurunkannya.
Sekarang klub yang hanya mempunyai anggaran Rp 10 miliar pun jangan harap mendapatkan pemain tim nasional senior. Nilai mereka sudah di atas Rp 750 juta. Ada juga yang bernilai di atas Rp 1 miliar.
Bambang Pamungkas misalnya. Pada ISL 2008/2009, penyerang didikan diklat Salatiga tersebut dibanderol lebih dari Rp 1 miliar dan jadi pemain lokal dengan bayaran termahal.
Hasilnya, Macan Kemayoran gagal jadi juara. Tapi, memang kita tak bisa menyalahkan Bambang. Sebab, dia tidak mungkin bekerja sendiri.
Kini, dalam persiapan menghadapi ISL 2009/2010, Persija belum memperoleh kucuran uang seperti musim-musim sebelumnya. Imbasnya, pemain bintangnya memilih hengkang. Tercatat, kiper Hendro Kartiko dan Ponaryo Astaman sudah ganti kostum Sriwijaya FC Palembang. Gangga Mudana pindah ke Persela Lamongan dan M. Ilham sudah merapat ke Bontang FC -nama baru PKT Bontang.
Kini, kendali memang berada di tangan pemain. Boleh sih, tapi melihat kondisi di Indonesia, klub seharusnya berani mengambil sikap.
Mereka harus tegas mematok harga pemain yang mau bergabung. Itu akan sangat membantu klub dalam mengelola keuangan jika tidak ingin berhenti di tengah jalan atau kolaps pada musim berikutnya.
Boleh saja ada beberapa klub masih jorjoran belanja pemain. Hanya, perlu diingat, sampai berapa musim dia akan kuat? Untuk satu atau dua musim, memang masih bisa. Untuk jangka panjang? Jangan harap.
Bagaimanapun, selama ini APBD masih menjadi penyambung hidup utama. Klub masih kesulitan mencari sponsor. Untuk itu, pintar-pintarlah mengelola keuangan yang ada. Jangan sampai besar pasak daripada tiang.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda