BATASAN GAJI PEMAIN SEPAK BOLA INDONESIA

Selasa, 18 Agustus 2009
Kurangi Ketergantungan pada APBD
koncomacan- Setiap tahun, gaji dan kontrak pemain sepak bola di Liga Indonesia terus melejit. Klub pun kena imbasnya. Sebab, pembiayaannya ikut membengkak.
INDONESIA Super League (ISL) sudah melewati satu musim kompetisi. Seharusnya, banyak pelajaran yang bisa dituai klub-klub peserta dan PT Liga Indonesia. Salah satunya adalah bobolnya kas keuangan klub. Tak sedikit klub kolaps dan kesulitan meneruskan kiprah pada kompetisi yang memiliki level tertinggi di tanah air itu atau minimal harus merasionalisasi kontrak pemain untuk bisa bertahan di ISL.
Maklum, kontrak pemain menjadi persentase tertinggi pembelanjaan klub. Apalagi, penggunaaan APBD direaksi Kementerian Sekretaris Negara. Nah, PT Liga Indonesia tak menutup mata terhadap fenomena yang berkembang dalam klub. Regulator kompetisi sepak bola tanah air tersebut berusaha berkomunikasi dengan 18 klub peserta melalui rancangan Manual ISL 2009/2010.
Sampai akhir pekan ini, Joko Driyono, CEO PT Liga Indonesia, telah mengantongi masukan dari 16 klub ISL dan 21 klub Divisi Utama untuk memperbaiki Manual Liga itu. Salah satu poin penting yang diharapkan mendapatkan perhatian dalah plafon pembiayaan pemain. Maklum, kompetisi di Indonesia tak mengenal salary cap (batasan gaji). Sabtu malam lalu (15/8), menurut Joko, sudah ada beberapa masukan dari klub yang nanti dibahas dan menjadi keputusan Manual Liga. Nah, menyangkut besaran belanja pemain, PSSI menegaskan tidak ada pembatasan.
"Hanya, kami bisa membatasi penggunaan dana APBD. Kisarannya Rp 12 miliar-Rp 17 miliar," ujar Nurdin Halid, ketua umum PSSI.
Klub bisa menganggarkan kebutuhan lebih besar asalkan sumber dana berasal dari luar, bukan APBD."Kami tidak bisa membatasi belanja mereka karena nanti melanggar free market," terang Nurdin. Nanti, ketentuan itu dituangkan dalam Peraturan Organisasi (PO) PSSI tentang Standar Pembiayaan Klub. Manual Liga akan mengatur harga pasaran pemain.
Usul tersebut terkait dengan besaran APBD sebagai subsidi pembelian pemain. Ada tiga kategori pemain yang kontrak atasnya dibatasi sesuai dengan rancangan PO tersebut.
Kategori pertama, plafon pemain tim nasional (timnas) senior Rp 400 juta. Kategori kedua, pemain timnas U-23 aktif dibanderol maksimal Rp 250 juta. Kategori ketiga, pemain nontimnas dipatok maksimal Rp 200 juta. Kisaran subsidi itu nanti ditentukan melalui empat kriteria utama. Yakni, status pemain nasional, kontribusi di klub selama satu tahun terakhir, usia produktif, dan perilaku pemain (attitude). Kriteria pemain nasional dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu pemain timnas aktif, pemain timnas U-23, dan mantan pemain timnas, serta kecuali tiga di atas.
Selanjutnya, kinerja pemain dilihat dari dua variabel, yakni prestasi dan kontribusi atau menit bermain pemain di musim kemarin.
Kriteria ketiga adalah usia produktif, dipatok antara usia 24-28 tahun. Sedangkan kriteria keempat, yakni perilaku, dilihat berdasar catatan disiplin pemain yang bersangkutan di musim sebelumnya. "Kriteria keempat tidak pernah menjadi nilai tambah, akan selalu menjadi pengurang," ujar Joko.
Perilaku pemain bakal dikaitkan dengan ganjaran skors, kartu kuning, kartu merah, atau kesopanan dalam lapangan."Aturan tersebut memang sedikit rumit. Tapi, itulah satu-satunya cara untuk mengurangi ketergantungan klub terhadap dana APBD," jelas dia. Ya, aturan tersebut diharapkan bisa mengerem kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat. Bila klub tetap mengontrak pemain dengan harga Rp 1 miliar, APBD hanya akan membiayai Rp 400 juta. Untuk sisanya, klub harus mencari dana di luar APBD. "Aturan itu secara tak langsung bakal menurunkan harga pemain," tegas Joko.
Pria asal Ngawi, Jatim, tersebut menyatakan bahwa nilai kepantasan pemakaian APBD murni berasal dari PT Liga Indonesia. Peraturan itu akan diketok secepatnya.
"Masih ada sedikit koreksi," imbuh Joko.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda