BERJALAN DI TENGAH KEBIMBANGAN KLUB LIGA INDONESIA

Jangankan Bicara Prestasi, Eksis Saja Sulit
koncomacan - RODA kompetisi sepak bola di Indonesia berhenti pada 30 Juni lalu, seiring berakhirnya babak playoff Indonesia Super League (ISL) antara Persebaya Surabaya versus PSMS Medan di Stadion Siliwangi, Bandung. Semua pun tahu, Green Force -julukan Persebaya- yang lolos ke ISL.
Tapi, setelah itu, tidak berarti klub-klub di pentas sepak bola Indonesia tidur nyenyak. Sebaliknya, semua langsung menatap musim 2009/2010. Bukan hanya klub di level ISL dan Divisi Utama, semua divisi baik Divisi I, Divisi II, dan juga Divisi III sibuk mempersiapkan musim mendatang.
Menatap kompetisi yang akan datang pun bukan hanya persoalan pilih pemain dan pelatih. Ada hal yang superpenting. Salah satunya, dana yang dimiliki. Semua harus disesuaikan dengan kantong masing-masing.
Padahal, mayoritas klub di Indonesia masih bergantung pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Pemberian APBD pun sudah lazim pada beberapa tahun lalu. Jumlahnya bergantung kepala daerah yang biasa ditunjuk menjadi ketua umum perserikatan tempat klub itu bernaung. Wajar jika banyak klub menjadi kekuatan yang sulit ditandingi.
Sekarang? Jangan main-main mengucurkan dana kalau tidak mau diseret ke pengadilan karena berurusan dengan hukum. Contohnya, salah seorang kepala daerah di Indonesia Timur. Salah satu alasannya, mengucurkan dana ke klub daerah tersebut.
Sementara, meski dana yang dipakai mencapai puluhan miliar rupiah, prestasi yang diharapkan tak kunjung datang. Bahkan, tim tersebut sekarang hilang bak ditelan bumi. Padahal, materi pemain yang dimiliki, khususnya putra daerah, tak kalah dengan kontestan Divisi Utama maupun ISL.
Memang, saat ini anggaran yang diterima sering tak sebanding dengan kebutuhan. Dampaknya, gaji para pemain tersendat. Untung, masih ada klub yang pintar menyalurkan dana untuk klub. Meski, bisa saja, ketua umumnya harap-harap cemas di kemudian hari.
Sementara itu, ada juga yang bernasib ironis. Yaitu, tidak dapat satu persen pun kucuran APBD. Tentu saja, mereka sempoyongan menghidupi klub untuk bisa eksis. Ada pula yang ekstrem menyikapi kondisi tersebut. Yaitu, memilih absen dari kompetisi. Meski, imbasnya, klub itu otomatis terdegradasi.
Sebenarnya, klub-klub tidak perlu pesimistis menghadapi kompetisi yang butuh banyak biaya. Sifat kemandirian sangat dibutuhkan. Salahnya, selama ini klub di Indonesia, khususnya yang berpelat merah atau milik pemerintah, selalu disusui dengan manja melalui APBD.
Banyak hal yang bisa digali. Jangan lupakan penonton. Misalnya, klub-klub Eropa yang dengan jeli menarik pendapatan dari animo mereka yang begitu besar ke stadion. Ada yang memakai sistem tiket terusan. Ada juga yang bergantung pada tiket reguler.
Jangan pula lupakan kontrak pemain. Hindarilah tindakan ugal-ugalan dalam mengontrak pemain karena akan jadi masalah di kemudian hari. Persik Kediri dan Persija sudah merasakannya.
Awalnya, keduanya begitu diunggulkan mengangkat trofi juara. Bayangkan, pemain sekelas Bambang Pamungkas digaji lebih dari Rp 1 miliar. Padahal, harga seorang Bambang sudah bisa dipakai tim level II Persika Karanganyar, Jateng, untuk tampil di Divisi II Nasional. Untuk itu, janganlah menyerah tanpa APBD. Masih ada jalan untuk bertahan. (red/agus ef)