PERSIAPAN PENDEK JAUH DARI HARAPAN
koncomacan - Permendagri 59/2007 yang membatasi tim-tim sepak bola untuk memperoleh dana APBD sebenarnya disosialisasikan sejak dua tahun lalu. Aturan tersebut berlaku efektif pada 2008. Artinya, tim-tim di Indonesia sejatinya punya waktu satu tahun untuk beradaptasi terhadap regulasi tersebut. Ujungnya, tim-tim sepak bola Indonesia menjadi profesional.
Instrumen ke arah yang sama berlaku dalam syarat untuk calon penghuni Superliga edisi pertama. Di antaranya, menerapkan bank garansi dan perseroan terbatas (PT). Jika dinaungi sebuah PT, diharapkan klub yang bersangkutan menjadi profesional dan menuai keuntungan layaknya sebuah perusahaan.
Namun, kenyataannya, belum ada satu pun kontestan Superliga yang benar-benar profesional. Mereka berteriak dan menyebut masa persiapan terlalu pendek. "Seharusnya, kucuran APBD tidak serta-merta dicabut, melainkan dikurangi sedikit demi sedikit," kata Saleh Ismail Mukadar, ketua umum sekaligus manajer Persebaya Surabaya.
Menurut Saleh, kondisi sepak bola Indonesia saat ini belum mendukung ke arah profesional. Di satu sisi, regulasi mendesak tim untuk mandiri. Di sisi lain, beberapa tim tetap lancar menggunakan APBD. "Di beberapa daerah, boleh menggunakan APBD. Tapi, di Surabaya tidak boleh," ucapnya.
Alhasil, tim yang sudah lepas dari APBD dan berjuang untuk mandiri harus berbenturan dengan kolega yang masih menyusu pada uang rakyat. Apalagi, menurut Saleh, beban tim tersebut bertambah dengan denda dan aturan yang memberatkan dari sisi finansial. "Untuk setiap kartu kuning yang diterima, pasti ada denda. Itu sama dengan membunuh tim. Ibaratnya, orang dibunuh, lalu dicincang," tegasnya.
Menurut Saleh, jika dibandingkan dengan musim sebelumnya, kontestan Indonesia Super League (ISL) musim lalu justru tidak diuntungkan. Dulu, tim-tim mendapatkan dana subsidi dari sponsor. Tapi, subsidi tersebut tidak ada lagi musim lalu. Saleh menyatakan tidak antipati dengan gerakan menuju sepak bola profesional. "Tapi, seharusnya ada regulasi yang melindungi tim," ungkapnya.
Di sisi lain, Sekretaris Yayasan Arema Satrija Budi Wibawa menyatakan bahwa atmosfer sepak bola Indonesia masih jauh dari sebuah industri yang diharapkan oleh banyak pihak. "Indikasinya, tidak banyak sponsor yang mau masuk ke dalam sepak bola Indonesia," ujarnya.
Karena itu, hal paling krusial yang perlu dibenahi adalah komitmen semua pelaku sepak bola Indonesia. Baik PSSI sebagai regulator maupun tim-tim peserta hingga suporter. (red/agus ef)
Instrumen ke arah yang sama berlaku dalam syarat untuk calon penghuni Superliga edisi pertama. Di antaranya, menerapkan bank garansi dan perseroan terbatas (PT). Jika dinaungi sebuah PT, diharapkan klub yang bersangkutan menjadi profesional dan menuai keuntungan layaknya sebuah perusahaan.
Namun, kenyataannya, belum ada satu pun kontestan Superliga yang benar-benar profesional. Mereka berteriak dan menyebut masa persiapan terlalu pendek. "Seharusnya, kucuran APBD tidak serta-merta dicabut, melainkan dikurangi sedikit demi sedikit," kata Saleh Ismail Mukadar, ketua umum sekaligus manajer Persebaya Surabaya.
Menurut Saleh, kondisi sepak bola Indonesia saat ini belum mendukung ke arah profesional. Di satu sisi, regulasi mendesak tim untuk mandiri. Di sisi lain, beberapa tim tetap lancar menggunakan APBD. "Di beberapa daerah, boleh menggunakan APBD. Tapi, di Surabaya tidak boleh," ucapnya.
Alhasil, tim yang sudah lepas dari APBD dan berjuang untuk mandiri harus berbenturan dengan kolega yang masih menyusu pada uang rakyat. Apalagi, menurut Saleh, beban tim tersebut bertambah dengan denda dan aturan yang memberatkan dari sisi finansial. "Untuk setiap kartu kuning yang diterima, pasti ada denda. Itu sama dengan membunuh tim. Ibaratnya, orang dibunuh, lalu dicincang," tegasnya.
Menurut Saleh, jika dibandingkan dengan musim sebelumnya, kontestan Indonesia Super League (ISL) musim lalu justru tidak diuntungkan. Dulu, tim-tim mendapatkan dana subsidi dari sponsor. Tapi, subsidi tersebut tidak ada lagi musim lalu. Saleh menyatakan tidak antipati dengan gerakan menuju sepak bola profesional. "Tapi, seharusnya ada regulasi yang melindungi tim," ungkapnya.
Di sisi lain, Sekretaris Yayasan Arema Satrija Budi Wibawa menyatakan bahwa atmosfer sepak bola Indonesia masih jauh dari sebuah industri yang diharapkan oleh banyak pihak. "Indikasinya, tidak banyak sponsor yang mau masuk ke dalam sepak bola Indonesia," ujarnya.
Karena itu, hal paling krusial yang perlu dibenahi adalah komitmen semua pelaku sepak bola Indonesia. Baik PSSI sebagai regulator maupun tim-tim peserta hingga suporter. (red/agus ef)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda