AUDIT KLUB

Andai Bisa Terlaksana
koncomacan - Niat luhur PSSI dan BLI membuat Liga Super Indonesia menjadi kompetisi profesional dan disegani jelas perlu didukung. Namun, cita-cita itu hanya akan terus menjadi ilusi jika salah satu syarat penting dalam manajemen profesional, seperti audit yang terbuka, tak bisa dilakukan.
Padahal, jika BLI boleh dan bisa mengaudit keuangan klub, setidaknya salary cap seperti di NBA atau kompetisi di Australia bisa dilakukan. Bahkan bukan itu saja. Pengelolaan klub yang profesional sejatinya menuntut adanya audit terbuka.
Baru-baru ini NBA kembali menurunkan salary cap total para pemain karena krisis ekonomi di AS. Jika ada yang melebihi, akan dikenai pajak kemewahan dengan perbandingan 1:1. “Ya NBA kan sudah jauh lebih maju dan mereka itu 90% adalah hiburan,” ujar Joko Driyono, Direktur Kompetisi BLI.
Memang soal profesionalisme mereka lebih maju. Namun, bukan suatu yang keliru jika sedikit mencontoh mereka. Mungkin di Indonesia tak perlu seekstrem itu, tapi cukup membatasi batasan gaji pemain di klub. Jika klub membayar gaji melebihi patokan BLI, maka kelebihan atau sisa uang yang lebih itu harus dijaminkan kepada BLI sebagai garansi bank.
Mungkin bisa juga melibatkan Mendagari dan BPK sebagai badan pengawas. Kabarnya PSSI, Mendagri, dan BPK akan bertemu pada 27 Juli untuk membicarakan izin klub menggunakan APBD.
“Mendagri menyatakan sudah membuat rumusan soal penggunaan APBD yang disesuaikan dengan PAD masing-masing kota, tapi konsep itu berhenti karena distop BPK. Padahal, ketika kami bertemu BPK, mereka mengaku tak pernah melarangnya,” ujar Saleh Mukadar, Ketua Umum Persebaya.
Lewat cara ini APBD semua klub cenderung akan sama bila menyentuh batas maksimal. “Sebenarnya kalau gaji pemain dibatasi, maka pengajuan ke APBD akan sama nilainya semua tim dan ini membuat kompetisi semakin kompetitif sebab kekuatan akan merata. Nilai plus untuk pemain ada di bonus,” kata manajer Persema, Hadi Sony Santoso.(red/agus ef)
koncomacan - Niat luhur PSSI dan BLI membuat Liga Super Indonesia menjadi kompetisi profesional dan disegani jelas perlu didukung. Namun, cita-cita itu hanya akan terus menjadi ilusi jika salah satu syarat penting dalam manajemen profesional, seperti audit yang terbuka, tak bisa dilakukan.
Padahal, jika BLI boleh dan bisa mengaudit keuangan klub, setidaknya salary cap seperti di NBA atau kompetisi di Australia bisa dilakukan. Bahkan bukan itu saja. Pengelolaan klub yang profesional sejatinya menuntut adanya audit terbuka.
Baru-baru ini NBA kembali menurunkan salary cap total para pemain karena krisis ekonomi di AS. Jika ada yang melebihi, akan dikenai pajak kemewahan dengan perbandingan 1:1. “Ya NBA kan sudah jauh lebih maju dan mereka itu 90% adalah hiburan,” ujar Joko Driyono, Direktur Kompetisi BLI.
Memang soal profesionalisme mereka lebih maju. Namun, bukan suatu yang keliru jika sedikit mencontoh mereka. Mungkin di Indonesia tak perlu seekstrem itu, tapi cukup membatasi batasan gaji pemain di klub. Jika klub membayar gaji melebihi patokan BLI, maka kelebihan atau sisa uang yang lebih itu harus dijaminkan kepada BLI sebagai garansi bank.
Mungkin bisa juga melibatkan Mendagari dan BPK sebagai badan pengawas. Kabarnya PSSI, Mendagri, dan BPK akan bertemu pada 27 Juli untuk membicarakan izin klub menggunakan APBD.
“Mendagri menyatakan sudah membuat rumusan soal penggunaan APBD yang disesuaikan dengan PAD masing-masing kota, tapi konsep itu berhenti karena distop BPK. Padahal, ketika kami bertemu BPK, mereka mengaku tak pernah melarangnya,” ujar Saleh Mukadar, Ketua Umum Persebaya.
Lewat cara ini APBD semua klub cenderung akan sama bila menyentuh batas maksimal. “Sebenarnya kalau gaji pemain dibatasi, maka pengajuan ke APBD akan sama nilainya semua tim dan ini membuat kompetisi semakin kompetitif sebab kekuatan akan merata. Nilai plus untuk pemain ada di bonus,” kata manajer Persema, Hadi Sony Santoso.(red/agus ef)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda