BOLA BERADA DI TANGAN BENTOEL

Publik bola Malang sudah tidak begitu heran dengan rencana pengalihan pengelolaan Arema dari PT Bentoel ke pengelola baru. Sebab jika dirunut dalam sejarahnya, Arema sudah bergonta-ganti pengelola. Bahkan ancaman tidak mengikuti kompetisi dan dibubarkan karena persoalan dana pun sudah bukan hal baru.
Yang sedikit membedakan saat ini, secara pendanaan di bawah PT Bentoel sebenarnya tidak ada masalah. Selama enam tahun dikelola Bentoel (sejak 2003), tidak pernah terdengar ada pemain yang mengeluhkan gaji maupun bonus. Semua telah dipenuhi manajemen Arema sesuai klausul kontrak. Namun toh, Bentoel angkat tangan juga.
Sejak setahun lalu, manajemen Arema memburu calon pengelola baru untuk mengelola Arema di pentas Indonesia Super League (ISL) 2008. Hanya karena belum berhasil mendapat pengelola pengganti, PT Bentoel lah tetap mengelola penuh di tahun 2008.
Dan rupanya kompetisi tahun 2008 menjadi kompetisi terakhir Arema di bawah pendanaan Bentoel secara penuh. Sesaat setelah kompetisi berakhir, manajemen Bentoel sudah melakukan lobi ke Pemkot Malang untuk menjajaki kemungkinan merger dengan Persema. Bahkan rencana ini pun sudah dikonsultasikan ke BLI. Skenario merger ini menjadi alternatif terakhir jika pengelola baru tidak ada.
Meski belum ada kesepekatan resmi, pihak Pemkot Malang menyatakann siap membantu eksistensi Arema. Di tengah perjalanan, bukan hanya Pemkot yang bersedia, Wali Kota Batu Eddy Rumpoko secara pribadi juga sanggup menggantikan peran Bentoel.
Sayangnya, tawar-menawar antara Bentoel dengan Eddy sepertinya tidak menemukan titik temu. Bahkan Bentoel juga menerima pinangan dua investor lain dari Jakarta yang ternyata mundur.
Dengan mundurnya dua investor itu, Bentoel tinggal punya satu pilihan untuk menentukan pengelola baru: Eddy Rumpoko. Sebab kemungkinan merger dengan Persema sudah tidak mungkin. Persema sudah mendaftarkan tim ke BLI. Jadi, kini eksistensi Arema ke depan bergantung niatan dari Bentoel untuk melepas ke pihak yang sudah siap.
Catatan Khoirul Anwar
koncomacan - Politik dan sepakbola. Mungkin tak ada kaitannya secara langsung. Tapi ada sisi kesamaan di antara keduanya. Yakni, sama-sama memperebutkan sebuah keinginan; menang. Menang di sini bisa berupa uang, kedudukan, kekuasaan, atau legitimasi.
Sampai detik ini pun sepakbola tidak hanya sekadar sebuah permainan laiknya politik. Sepakbola juga bukan hanya sebagai usaha persaingan lewat banyak-banyakan gol yang dimasukkan ke gawang. Tapi, ada sisi drama yang mampu menyajikan keindahan dan keasyikan untuk ditonton.
Dan, ini juga dialami ''makhluk'' yang bernama politik. Politik sangat berkaitan erat dengan dunia sepak menyepak itu. Bukan hanya drama permainan di dunia bola saja. Tapi, politik juga membutuhkan media sepakbola untuk menampakkan eksistensi kedaulatannya. Lihat saja, Thaksin Shinawatra yang rela merogoh uang simpanannya demi Manchester City. Ada lagi Benito Mussolini di Italia yang menggunakan Piala Dunia 1938 untuk kepentingan politiknya.
Tentu, kita bebas menilai soal ini. Karena pada dasarnya, untuk memuluskan sebuah tujuan politik, sangat diperlukan banyak lulur agar bisa makin licin jalannya. Lulur itu bisa berupa uang, janji, dan terakhir dunia sepakbola untuk menarik simpati rakyat. Dengan bahasa lain, sepakbola di negeri ini sudah memiliki perspektif yang beragam. Sebut saja, bisnis, simpati, dan kekuasaan.
Arema di Malang Raya memiliki semuanya. Suporter fanatik, proximity tinggi, dan memiliki kekhasan drama permainan yang mampu membangkitkan spirit kuat. Arema juga sebagai cermin sepakbola multidimensi yang memberikan daya tarik besar. Bisa dipastikan bahwa tak kurang dari 80 persen dari tiga jutaan penduduk Malang Raya tahu Arema.
Ini potensi besar. Dalam teori manajemen isu, Arema memiliki high impact dan magnitude. Tak bisa dipungkiri bahwa potensi luar biasa itu berpeluang besar memunculkan keinginan orang untuk memuluskan tujuannya. Sebut saja, tujuan politik (ekonomi, takhta), legitimasi, dan tentu kekuasaan.
Adalah sebuah kemafhuman jika tim berjuluk Singo Edan itu saat ini mengalami jalan terjal mencari ''rumahnya'' pasca PT Bentoel diambil alih sahamnya oleh BAT. Bahkan, sampai hari ini ke mana Arema berlabuh juga masih menjadi tanda tanya besar meski sudah mengerucut ke beberapa nama.
Ibarat sebuah permainan bola, kocekan-kocekan kepentingan merangkul Arema dan (kalau bisa) Aremania dimainkan dengan indah oleh striker-striker seperti Eddy Rumpoko (Pemkot Batu), Peni Suparto, Bambang Dh Suyono (Pemkot Malang), Sujud Pribadi, Rendra Kresna (Pemkab Malang), dan pihak ketiga yang mungkin saja di belakang masing-masing mareka.
Dan, untuk menjadi pemenangnya, para striker ini pun bermain ganda. Kadang di posisi depan, tengah, belakang, bahkan ada yang penjaga gawang. Tujuannya satu; memuluskan sebuah tujuan.
Karena umpan-umpan bola yang cukup matang diberikan Bentoel - pasca pabrik rokok terbasar di Malang ini dibeli BAT - cukup sulit, posisi tawar untuk melepas tendangan pun agak sulit dilakukan para striker tersebut. Belum lagi para striker juga cukup sibuk mengukur striker lain yang memang bersaing memperebutkan bola hasil umpan Bentoel.
Tak heran, mau tidak mau, para striker ini pun harus pasang strategi. Baik dengan pengumpan (Bentoel) maupun antar-striker, untuk menentukan siapa yang jadi pemenang dan mengelola Arema.
Siapa pemenangnya? Agaknya kompromi-kompromi akan banyak dilakukan. Selain karena proses politik sebenarnya masih cukup panjang (pilkada Kabupaten Malang sekitar September 2010, pilkada Kota Malang 2013, dan Batu 2012), maka siapa pun pemenangnya agaknya masih cukup sulit ditebak. Paling tidak sampai akhir bulan ini. Kecuali memang the invisible hand turun tangan dan mengadakan kompromi-kompromi.
Ibarat seorang gadis, Arema memang cukup molek dan sangat menggoda. Ia memiliki ''sex appeal'' tinggi. Dan, umpama dunia perpolitikan Malang Raya seorang pemuda tampan, ia pun akan tergila-gila dengan kemolekan sang gadis. Karena tergila-gila, kadang sampai ada yang nekat ''memperkosa''nya karena nafsu sudah di ubun-ubun.
Itu hanyalah sebuah kiasan. Namun yang sangat perlu diingat, dalam perspektif politik, sepakbola bola tidak bisa dipakai untuk memperkuat diri sendiri atau kelompok hingga menyebabkan ''perkosaan-perkosaan'' untuk memperlemah tim lain secara tidak sportif. Karena pada dasarnya sepakbola ini adalah permainan indah dalam drama syahdu yang tetap menjunjung sportivitas dan fair play.
Karenanya, meski ke mana Arema berlabuh tak bisa lepas dari proses politik, namun masyarakat Malang Raya sangat berharap permainan itu tidak sampai menyelipkan sebuah permainan kotor dan berpolitik tidak etis. Jangan sampai Arema dengan permainannya yang menarik kita tonton di lapangan, menjadi sebuah sajian yang brutal, tidak fair, dan tidak sportif. Mari kita jaga bersama keindahan permainan Arema dengan drama-dramanya yang menggugah jiwa. Salam satu jiwa! (red/agus ef)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda