KEKERASAN SEPAK BOLA

Nyawa Jadi Taruhan
koncomacan-Kompetisi Djarum ISL musim ini di luar dugaan banyak pihak. Harapan akan ketatnya persaingan antarklub yang terbungkus dalam sportivitas serta pengaturan kompetisi yang elegan musnah. Sebaliknya berbagai kejadian mengerikan hingga melayangnya nyawa kembali terjadi.
September lalu, suporter Persitara, Dian Rusdiana, meninggal setelah dikeroyok kelompok suporter lain dalam perjalanan pulang dari stadion. Minggu lalu, pemain PKT, Jumadi Abdi, meninggal setelah sempat dirawat di rumah sakit akibat pelanggaran yang dilakukan Denny Tarkas, pemain Persela.
Di semifinal Liga Djarum tahun lalu, suporter Persija, Fatchul Mulyadin, juga meninggal setelah dianiaya oknum suporter Persipura. Namun, dari serangkaian kekerasan yang berujung kematian itu, tak ada penyelesaian yang jelas, baik dari pihak PSSI maupun kepolisian. Hingga kini belum pernah terungkap siapa yang melakukan tindakan keji itu.
Namun, yang lebih menyedihkan, pelaku kekerasan di lapangan pada kasus-kasus sebelumnya kerap mendapat pengampunan dari PSSI sebagai otoritas penegak keadilan di sepak bola nasional.
Kasus Cristian Gonzales, Yoyok Sukawi, serta para pemain PSIR adalah cermin bobroknya PSSI dalam menegakkan hukuman. Tak aneh jika pihak luar seperti Polri pun perlu “turun tangan” untuk membuat kekerasan yang marak di lapangan itu bisa dihilangkan seperti permintaan Irjen (Pol) Alex Bambang Riatmodjo. Shock therapy Polri seharusnya membuat PSSI sedikit sadar untuk selanjutnya kembali menegakkan keadilan.
“Beberapa kali keputusan Komdis dan Komding untuk menghukum pemain yang melakukan pelanggaran dianulir. Akibatnya pemain yang melakukan kekerasan tidak jera,” tutur asisten manajer Persekabpas.
Wasit Lemah
Selain lemahnya PSSI dalam menegakkan dan menciptakan rasa keadilan, ketegasan wasit juga dituding menjadi salah satu pemicu. Ketua Komisi Wasit Pengprov PSSI Jatim, Heru Sugiri, mengakuinya. “Tak dimungkiri, wasit juga tak lepas dari kealpaan. Tapi, minimnya pengetahuan pelaku sepak bola, khususnya pemain, terhadap peraturan permainan dan pemahaman profesionalisme secara dangkal juga menjadi penyebab terjadinya kekerasan,” ujar Heru.
Namun, anggapan Heru ditolak Yandri. Wasit asal Jakarta yang sempat memukul ofisial PSM dengan alasan membela diri tersebut menolak korpsnya dinilai tidak tegas. ”Musim ini saya lihat sudah ada kemajuan. Kartu-kartu itu bukti kita sudah berusaha keras menegakkan aturan,” katanya.
Soal tudingan wasit tidak tegas, lanjut Yandri, ada beberapa faktor eksternal yang ikut mempengaruhi. Misalnya tekanan dan teror penonton sebelum dan selama pertandingan.
Meski begitu, fakta bahwa sepak bola menjadi satu-satunya arena aksi kekerasan hingga perlu dilarang ditolak Subardi. “Jangankan di sepak bola, di DPRD saja ketua bisa dibunuh saat rapat. Artinya anarkisme bisa saja terjadi di mana-mana. Jangan melihat sepak bola selalu identik dengan anarkisme,” ucap anggota Komite Eksekutif PSSI itu.
Sebaliknya ia berharap ada penelitian yang benar-benar bisa mengurai apa sebenarnya penyebab kekerasan itu.
56 Korban
Pasca-Eri Irianto meninggal dunia setelah pingsan di lapangan pada tahun 2000, semestinya kejadian serupa tak terulang lagi. Namun, janji itu tak bisa ditepati PSSI. Kekerasan di lapangan menjadi media utama dalam kasus meninggalnya Jumadi Abdi, gelandang Pupuk Kaltim, di Bontang, Minggu lalu.
Memang kasus yang menimpa Jumadi ini sangat jarang ditemui. Di level internasional, tercatat sebanyak 55 kali pesepak bola meninggal menurut catatan Wikipedia. Eri tercatat sebagai pesepak bola ke-30 dalam daftar tersebut. Jumadi sendiri adalah pemain ke-56 dalam catatan tersebut.
Kebanyakan penyebab utama dari kematian itu adalah serangan atau gagal jantung atau cedera di kepala ataupun masalah pernapasan. Hal itu pula yang sempat mengilhami pesepak bola perlu memakai pelindung kepala.
Dari catatan tersebut, ada seorang pemain yang meninggal karena kasus hampir sama dengan Jumadi, yakni James Main Hibernian, meninggal dalam pertandingan yang digelar di hari Natal pada 1909 antara Patrick Thistle melawan Firhill. Stoper James mendapati cedera fatal di bagian perut.
”Seingat saya di Indonesia baru kali ini ada kematian pemain sebagai dampak permainan keras. Kalau cedera hingga patah kaki dan tangan banyak,” ungkap Danurwindo, pelatih Persija.
Mantan pemain Arseto itu juga jadi korban si kulit bundar. Dia terpaksa harus pensiun dini akibat mata kirinya terkena benturan bola sangat keras ketika tampil pada Universiade di Meksiko.
”Saya ini juga korban. Saya sempat syok ketika harus pensiun, tapi saya ambil hikmahnya dengan belajar untuk jadi pelatih,” ucapnya.
DATA-FAKTA
Meninggal Akibat Sepakbola
1. Eri Irianto (Persebaya) 2000
2. Jumadi Abdi (Pupuk Kaltim) 2009
Cedera Parah Akibat Sepakbola
Bima Sakti (Petrokimia) - Patah kaki di HCMC (takling Baichung Buthia)
Emaleu Serge (Arema) - Patah Kaki di Piala Yusuf (takling keras Pierre Bio Paulin).
Dadang Sudrajat (penjaga gawang - Arema) - Patah tulang hidung harus operasi setelah tertabrak pemain Pelita.
Aji Saka (penjaga gawang-Arema U-21) Luka di atas mata kanan dengan 7 jahitan luar dan dalam setelah terkena sepatu pemain Persik U021.
Nurul Huda PSIS/Persijap - Patah kaki
Rahmat Affandi PSIS vs Pelita KS 2004 - Patah kaki
Boaz Solossa Timnas Piala Tiger vs Singapura 2007 - Patah kaki
Sarbini Sandi Persiba vs PSM 2006 - Patah tangan (terinjak Irsyad Arras)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda