SMART CARD BITSI
Smart Card BITSI Berharap Makin Mulus
Sejak diluncurkan tahun 2006, program smart card PSSI terus mengalami pasang surut. Program ini memang bisa berjalan mulus di seluruh daerah khususnya di tingkat kompetisi amatir dan junior, perwasitan, bahkan pelatih. Lewat program tersebut, BITSI (Badan Informatika dan Teknologi Sepakbola Indonesia), yang sebelumnya adalah Lembaga Informasi dan Teknologi (LIT), kini sudah menjaring ribuan data yang mulai dimasukkan dari seluruh Indonesia.
“Datanya ada sekitar 7.000, lengkap dan bisa diakses lewat internet,” jelas Muhammad Faqih, manajer IT BITSI. Lewat program bernama Data Base Management System, mereka mengumpulkan data pemain wasit, dan ofisial, bahkan laporan pertandingan secara online dan pembuatan kartu akses. Pendaftaran yang dikutip bayaran tertentu memang bervariasi dari pemain kelompok umur hingga ofisial. Bagi yang berlaga di liga pro, pemain asing dikenai pungutan Rp 10 juta per orang, sedang pemain lokal cuma setengahnya. Kini BITSI mampu mengumpulkan dana hingga kurang lebih Rp 3 miliar.
Tujuan utama pengumpulan dana itu adalah untuk membangun sistem sehingga terkesan mahal “Dana itu sebagian kita gunakan untuk membantu pengda,” tambah Ibnu Munzir, Ketua BITSI yang juga mengakui program ini diaudit secara internal dan eksternal. Diakui pihak BITSI, bila pemanfaatan data itu belum maksimal karena berbagai kendala internal di PSSI. “Kita ingin semua berjalan otomatis dan dilakukan mesin sehingga tidak akan terjadi manipulasi atau kolusi. Namun, ide ini malah mendapat hambatan, bahkan dari dalam sendiri,” jelas Syauqi Suratno, Direktur BITSI.
Salah satu contoh kecil adalah pemanfaatan program ini bisa mendeteksi tanggal lahir pemain dan data mereka secara komplet. Sekali dimasukkan maka data tersebut akan mendapat kode dan bisa diaktifkan. Hal ini tentu akan membuat masing-masing pemain memiliki data spesifik yang tak bisa digandakan atau dipalsukan. “Lewat program ini, saya jamin ke depan tidak akan ada pencurian umur atau pemalsuan data pemain, karena sejak junior, data mereka dimasukkan dan seterusnya data itu akan direkam sepanjang karier pemain. Berapa dia mencetak gol di kompetisi usia dini hingga senior, nanti semua akan terdata dan tersimpan rapi,” tambah Syauqie, soal kelebihan dan keunggulan data base tersebut.
Sekretaris Pengda PSSI Jatim, Kus Handoko, menyebutkan, program ini berjalan mulus di tingkat amatir dan junior. Alasannya karena selain harga relatif murah, hanya kisaran ratusan ribu, inisiatif pengda untuk mensosialisasikan program tersebut sekaligus melakukan pendekatan pada klub juga berperan besar. “Pengda sangat gencar dan memfasilitasi pembuatan smart card untuk tim-tim amatir dan junior.
Itulah yang dilakukan Pengda Jatim lalu,” ujar Kus. Hanya sayang menurut bberapa ofisial di daerah, sosialisasi dinilai masih kurang. “Setahu saya kartu tersebut hanya untuk pemain amatir dan perangkat pertandingan saja. Karena itu para pemain Persib yang berlaga di Djarum ISL belum ada yang membuat smart card,” ujar sekretaris Persib, Yudiana. (koncomacan)
Belum Berjalan Sempurna
Program BITSI (Badan Informatika dan Teknologi Sepakbola Indonesia) PSSI, yang meluncurkan smart card (SC) dua tahun lalu, hingga kini belum berjalan sempurna. Memang hampir di semua daerah sudah bisa tersebar, namun program ini masih mendapatkan banyak perdebatan ketika masuk ranah kompetisi profesional. Pungutan besar atas pembuatan kartu pintar ini membuat BLI belum bisa diterapkan di institusinya.
“Terus terang di ranah profesional masih terdapat perbedaan pemahaman. Bukan soal ide smart card, tetapi apa keuntungan yang didapat dari program ini bagi pemain. Pasalnya pungutan Rp 10 juta untuk pemain asing dan Rp 5 juta (pemain lokal) itu sangat tinggi,” ujar Joko Driyono, Direktur Kompetisi BLI. Selain itu, BLI juga memper-tanyakan seputar kegunaan kartu itu selain sebagai data pemain dan keanggotaan PSSI.
“Kita ingin setiap uang yang dipungut dari pemain itu bisa bermanfaat bagi pemain mereka,” jelas Joko. Sementara itu, bagi pemain minimnya sosialisasi ke klub dianggap sebagai salah satu faktor penyebab program ini tak berjalan mulus. Buktinya banyak pemain yang tak memahami fungsi dan ke mana harus membuat smart card. “Saya tahu ada program ini. Tapi, fungsi SC belum tahu secara detail, karena itu saya tak mengurusnya. Saya sendiri tak keberatan membuat smart card jika program ini jelas tujuannya,” tutur Javier Roca, pemain Gresik United.
Hal sama diakui Boy Jati Asmara. Selama ini striker Deltras tersebut tak pernah mendapat sosialisasi program tersebut dari PSSI maupun manajemen klub. “Sejak di PSMS sampai di Deltras belum ada sosialisasi. Saya tahunya dari berita di koran,” tuturnya. Tampaknya PSSI harus lebih intensif dan serius menjalankan program ini. “PSSI harus lebih proaktif. Kalau tidak, program ini tak akan sampai ke pemain. Pelayanannya juga harus ditingkatkan. Jika tujuannya untuk data base, seharusnya bisa diakses oleh publik,” terang Boy. (koncomacan)
Sejak diluncurkan tahun 2006, program smart card PSSI terus mengalami pasang surut. Program ini memang bisa berjalan mulus di seluruh daerah khususnya di tingkat kompetisi amatir dan junior, perwasitan, bahkan pelatih. Lewat program tersebut, BITSI (Badan Informatika dan Teknologi Sepakbola Indonesia), yang sebelumnya adalah Lembaga Informasi dan Teknologi (LIT), kini sudah menjaring ribuan data yang mulai dimasukkan dari seluruh Indonesia.
“Datanya ada sekitar 7.000, lengkap dan bisa diakses lewat internet,” jelas Muhammad Faqih, manajer IT BITSI. Lewat program bernama Data Base Management System, mereka mengumpulkan data pemain wasit, dan ofisial, bahkan laporan pertandingan secara online dan pembuatan kartu akses. Pendaftaran yang dikutip bayaran tertentu memang bervariasi dari pemain kelompok umur hingga ofisial. Bagi yang berlaga di liga pro, pemain asing dikenai pungutan Rp 10 juta per orang, sedang pemain lokal cuma setengahnya. Kini BITSI mampu mengumpulkan dana hingga kurang lebih Rp 3 miliar.
Tujuan utama pengumpulan dana itu adalah untuk membangun sistem sehingga terkesan mahal “Dana itu sebagian kita gunakan untuk membantu pengda,” tambah Ibnu Munzir, Ketua BITSI yang juga mengakui program ini diaudit secara internal dan eksternal. Diakui pihak BITSI, bila pemanfaatan data itu belum maksimal karena berbagai kendala internal di PSSI. “Kita ingin semua berjalan otomatis dan dilakukan mesin sehingga tidak akan terjadi manipulasi atau kolusi. Namun, ide ini malah mendapat hambatan, bahkan dari dalam sendiri,” jelas Syauqi Suratno, Direktur BITSI.
Salah satu contoh kecil adalah pemanfaatan program ini bisa mendeteksi tanggal lahir pemain dan data mereka secara komplet. Sekali dimasukkan maka data tersebut akan mendapat kode dan bisa diaktifkan. Hal ini tentu akan membuat masing-masing pemain memiliki data spesifik yang tak bisa digandakan atau dipalsukan. “Lewat program ini, saya jamin ke depan tidak akan ada pencurian umur atau pemalsuan data pemain, karena sejak junior, data mereka dimasukkan dan seterusnya data itu akan direkam sepanjang karier pemain. Berapa dia mencetak gol di kompetisi usia dini hingga senior, nanti semua akan terdata dan tersimpan rapi,” tambah Syauqie, soal kelebihan dan keunggulan data base tersebut.
Sekretaris Pengda PSSI Jatim, Kus Handoko, menyebutkan, program ini berjalan mulus di tingkat amatir dan junior. Alasannya karena selain harga relatif murah, hanya kisaran ratusan ribu, inisiatif pengda untuk mensosialisasikan program tersebut sekaligus melakukan pendekatan pada klub juga berperan besar. “Pengda sangat gencar dan memfasilitasi pembuatan smart card untuk tim-tim amatir dan junior.
Itulah yang dilakukan Pengda Jatim lalu,” ujar Kus. Hanya sayang menurut bberapa ofisial di daerah, sosialisasi dinilai masih kurang. “Setahu saya kartu tersebut hanya untuk pemain amatir dan perangkat pertandingan saja. Karena itu para pemain Persib yang berlaga di Djarum ISL belum ada yang membuat smart card,” ujar sekretaris Persib, Yudiana. (koncomacan)
Belum Berjalan Sempurna
Program BITSI (Badan Informatika dan Teknologi Sepakbola Indonesia) PSSI, yang meluncurkan smart card (SC) dua tahun lalu, hingga kini belum berjalan sempurna. Memang hampir di semua daerah sudah bisa tersebar, namun program ini masih mendapatkan banyak perdebatan ketika masuk ranah kompetisi profesional. Pungutan besar atas pembuatan kartu pintar ini membuat BLI belum bisa diterapkan di institusinya.
“Terus terang di ranah profesional masih terdapat perbedaan pemahaman. Bukan soal ide smart card, tetapi apa keuntungan yang didapat dari program ini bagi pemain. Pasalnya pungutan Rp 10 juta untuk pemain asing dan Rp 5 juta (pemain lokal) itu sangat tinggi,” ujar Joko Driyono, Direktur Kompetisi BLI. Selain itu, BLI juga memper-tanyakan seputar kegunaan kartu itu selain sebagai data pemain dan keanggotaan PSSI.
“Kita ingin setiap uang yang dipungut dari pemain itu bisa bermanfaat bagi pemain mereka,” jelas Joko. Sementara itu, bagi pemain minimnya sosialisasi ke klub dianggap sebagai salah satu faktor penyebab program ini tak berjalan mulus. Buktinya banyak pemain yang tak memahami fungsi dan ke mana harus membuat smart card. “Saya tahu ada program ini. Tapi, fungsi SC belum tahu secara detail, karena itu saya tak mengurusnya. Saya sendiri tak keberatan membuat smart card jika program ini jelas tujuannya,” tutur Javier Roca, pemain Gresik United.
Hal sama diakui Boy Jati Asmara. Selama ini striker Deltras tersebut tak pernah mendapat sosialisasi program tersebut dari PSSI maupun manajemen klub. “Sejak di PSMS sampai di Deltras belum ada sosialisasi. Saya tahunya dari berita di koran,” tuturnya. Tampaknya PSSI harus lebih intensif dan serius menjalankan program ini. “PSSI harus lebih proaktif. Kalau tidak, program ini tak akan sampai ke pemain. Pelayanannya juga harus ditingkatkan. Jika tujuannya untuk data base, seharusnya bisa diakses oleh publik,” terang Boy. (koncomacan)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda